Blogroll

Pages

Rabu, 13 Juli 2011

PENINGKATAN EKSISTENSI LKMS MELALUI PENGAWASAN KEUANGAN

Kasus likuidasi sebuah koperasi atau BMT bukanlah kasus yang hanya bisa dihitung dengan jari. Penyebab likuidasi karena ketidakprofesionalan pengelola, dan kurangnya pengawasan dari pemerintah terutama Kementrian koperasi dan usaha kecil menengah . Sebenarnya Kementrian Koperasi dan UKM telah memberikan instrumen pengawasan , akan tetapi pelaksanaan dilapangan sangat lemah dan terlebih kurangnya sosialisasi kepada pengelola LKM dan LKMS. 
Kedudukan koperasi dalam perekonomian Indonesia walaupun tidak menempati porsi besar akan tetapi perkembangannya mengalami kenaikan yang baik . Jumlah Koperasi Indonesia periode 2004–2008 mengalami peningkatan dari 130.730 unit pada tahun 2004 menjadi 154.964 unit pada tahun 2008 atau meningkat 24.234 unit18,54%). Dari data tersebut, koperasi yang aktif pada tahun 2004 tercatat sebanyak 93.402 unit dan menjadi 108.930 unit pada tahun 2008 atau meningkat 15.528 unit (16,62%),selebihnya tidak aktif dan memerlukan pembinaan lebih lanjut (Lampiran-1).
LKMS Seperti BMT danKoperasi Jasa Keuangan Syariah yang bergerak mengikuti peraturan Kementerian koperasi merupakan bagian dari eadah koperasi Indonesia. Keberadaan lembaga keuangan syariah sebagai lembaga alternatif untuk melakukan transaksi bisnis dan ekonomi semakin dapat diperhitungkan oleh masyarakat.
 BMT atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah adalah salah satu wujud dan implementasi nilai syariah dalam bentuk lembaga keuangan mikro.  Microfinance sendiri telah hadir di Indonesia sejak 1970 an. Kebutuhan microfinance yang kuat merupakan amanah undang-undang dan sekaligus perwujudan dari ekonomi kerakyatan yang dibangun sebagai dasar ekonomi bangsa. Selain itu hampir 89 % tenaga kerja di Indonesia bergerak dalam bisnis ekonomi kecil dan menengah. (Ersa:2007)
Lembaga keuangan mikro syariah secara fungsional tidak berbeda jauh dengan perbankan syariah. Lembaga keuangan mikro syariah merupakan lembaga intermediari sebagaimana bank pada umumnya dan bergerak di industri kecil dan menengah.  Layaknya bank, koperasi jasa keuangan syariah dan unit jasa keuangan syariah diperkenankan menghimpun dana anggota baik berupa tabungan dan simpanan berjangka dengan akad mudharabah dan wadiah, serta menyalurkannya dalam pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna, ijarah, dan alqardh.
Dalam penyebarannya, jumlah koperasi terbesar masih terkonsentrasi pada daerah-daerah yang memiliki dinamika perekonomian yang relatif lebih baik. Perkembangan keragaan koperasi periode 2004-2008 mencapai 18,54% dengan tingkat keaktifan 16,62%, keanggotaan koperasi (0,74%); pelaksanaan RAT 1,81%; manajer 5,97%; karyawan 25,68%; modal sendiri 88,17%; modal luar 61,40%; volume usaha 81,80% dan SHU 132,77.
Perkembangan BMT atau KJKS di Indonesia cukup pesat. Pada akhir tahun 1995 tercatat 300 an, naik 1501 pada tahun 1997,dan pada akhir tahun 2005 terdapat 3.038 BMT yang  tercatatdi PINBUK (Pusat Inkubasi Usaha Kecil) dengan simpanan 209 miliar dan pinjaman 157 miliar .(Bambang Ismawan :2005)
Pertumbuhan BMT dan koperasi Jasa Keuangan syariah (KJKS)  dikawasan pedesaan dan perkotaan kecil telah nyata-nyata membantu meningkatkan perekonomian masyarakat disekitar lembaga itu berdiri. Fakta ini dikuatkan oleh penelitian Euis Amalia dalam Disertasinya ”Reformasi Kebijakkan Bagi Penguatan Peran Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil Menengah Di Indonesia”. (Euis Amalia: 2007).
 Fakta, sumbangsih UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) sebagai bagian dari pembangunan perekonomian bangsa dalam menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan fakta yang  tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdasarkan data Bappenas usaha kecil mikro tahun 2007 sebesar 41,30 juta unit ( 99,85 %), Usaha menengah 61.05 juta unit ( 0,14%) dan usaha besar 2,2 juta unit ( 0,005%).Dari data ini penyerapan tenaga kerja oleh UKMK adalah 96,2 % dari tenaga kerja nasional dan menyumbang 1.778.7 triliun atau 53 % dari total PDB dan 46,2 % dari Investasi nasional (Bappenas :2007)
Berkaitan dengan itu dalam mendukung peningkatan UMKM diperlukan peningkatan kinerja LKMS sebagai lembaga intermediasi. Peningkatan kinerja LKMS didapatkan melalui peningkatan kesehatan LKMS, dan kedua peningkatan keberpihakan pemerintah melalui regulasi dan lembaga keuangan mikro termasuk didalamnya BMT atau KJKS (lembaga jasa keuangan syariah).
Pembangunan ekonomi kerakyatan dalam hal ini LKM maupun LKMS dan UKM harus didukung kebijakkan pemerintah yang disandarkan pada people centered. Grassroots-based dan people based yaitu rakyat diposisikan secara substansial bukan residual ataupun marginal. Disisi lain, menurut Swasono ekonomi rakyat memiliki kekuatan dan merupakan strategi pembangunan diluar jalur pasar bebas. (Edi Swosono :2008)
Peningkatan kesehatan LKMS dapat dilakukan dengan menempatkan portfolio pembiayaan dan kualitas portfolio pembiayaan LKMS secara benar dan memperhatikan peraturan kesehatan  koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam koperasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Koperasi usaha kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor 14/Per/M/KUKM/XII/ 2009. Hal ini mutlak dilakukan agar lembaga keuangan mikro syariah terhindar dari ancaman likuidasi.
Penilaian kesehatan LKMS diatur dengan Peraturan Menteri Nomor 14/Per/M.KUKM/XII/2009 . Akan  tetapi pada faktanya, banyak KJKS atau UJKS yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Hal ini menimbulkan banyaknya ruang abu-abu dan multi interpretatif yang akan menggiring pada pelemahan LKMS. Data penelitian yang dilakukan oleh Ersa Tri Wahyuni didapatkan fakta bahwa dari 23 LKMS (BMT) yang beraset lebih dari 1 miliar, hanya 9 BMT  yang laporan keuangannya diaudit oleh auditor independen. Berdasarkan peraturan menteri koperasi BMT yang mempunyai aset 1 miliar yang harus diaudit oleh auditor independen (pasal 35 UU No.91 /Kep/M/KUKM/IX/2004). (Ersa Triwahyuni :2007)
Fakta diatas memberikan gambaran bahwa kepatuhan BMT atau LKMS terhadap aturan Menteri koperasi dalam penilaian kinerja masih lemah. Kelemahan ini akan berdampak buruk kepada kepentingan stakeholder diantaranya deposan,sebagai  pihak yang paling dirugikan bilamana LKMS ditutup. Hal ini dikarenakan tidak adanya penjaminan dana nasabah di LKMS sebagaimana terdapat dilembaga keuangan bank dibawah pengawasan Bank Indonesia.
Data diatas dapat dipahami bahwa pengawasan keuangan mutlak diperlukan guna peningkatan kinerja LKMS sebagai sparing patner strategis guna peningkatan usaha kecil menengah di Indonesia. wass.


 

1 komentar: